Kamis, 21 November 2013

SEKADAR SAMPUL



SEKADAR SAMPUL
Sebuah cerpen oleh Amaliah Zj yang keluar sebagai juara 2 dalam lomba cerpen Excellent HMK UNM 2013 bertema "Mahasiswa Inspiratif"
       google pict.

 Apabila kau telah beranjak kuliah, maka pikiranmu tak akan selalu dipenuhi keterkekangan. Kecuali kalau kau itu orang yang alot dalam menanggapi hidup. Hanya dipenuhi dengan perintah dosen yang bersangkutan. Datang dan pergi ke kampus disaat adanya jadwal kuliah. Namun, disini aku berada. Berdiri diantara cahaya yang mengajakku berjalan menuju masa depan yang kuinginkan. Berpikir untuk terus maju, berpikir kedepan, berpikir bagaimana cara berpenghasilan dengan cepat tanpa memberatkan orang tua. Bagiku, waktu adalah obat. Meskipun sering tertipu oleh waktu, tapi aku tidak membencinya karena waktu akan mengajakku berjalan-jalan menemui banyak karakter. Diantara karakter itu, semuanya gugur satu persatu tapi ada pula yang tetap bertahan. Mereka datang dengan senyuman penuh wibawah, dan pergi dengan kenangan yang tidak begitu berarti.
Pikiranku dibunyarkan oleh seseorang yang melintang dihadapanku. Suaranya telah kudengar sepanjang pagi ini. Sangat berisik. Aku bosan dipanggil dengan cara seperti ini. Dia semakin mendekat. Wajahnya memelas. Belum selesai dengan tugas kuliahnya sepertinya. Seperti biasa, aku yang akan menjadi penopangnya. Sebenarnya ini bukanlah masalah yang besar kalau saja dia tidak terus-terusan memanggil namaku.
            “Rekha, gimana nih dengan nasib aku ini?” katanya memasang wajah memelas sambil menunjukkan giginya yang putih.
            “Wah, gimana lagi.. Datanya nggak bisa terkirim. Cari data manual saja” Jawabku dengan cuek. Ini yag kesekian kalinya dia berkata seperti itu. “Minta tolong ke teman yang lain kayaknya nggak begitu memberatkan deh”, batinku.
            Kalau saja proposal yang kuajuakan ke ketua jurusan tidak berkali-kali ditolak, pasti sikapku tidak akan sejutek ini. Proposal ini telah aku susun berminggu-minggu dan ditolak begitu saja tanpa membacanya secara secara memyeluruh. Apakah ini karena kurang mahirnya teknik melobi yang kumiliki? Boro-borobo melobi, dibiarkan menjelaskan saja tidak diizinkan. Kesalahan ditolaknya proposalku ini karena sampul halaman yang “katanya” tidak singkron. Wajar enggak?. Ditambah lagi beberapa hari ini para dosen memajukan seluruh final meraka. Tugas bertumpuk.
            Kembali lagi ke temanku yang satu ini. Sebut saja Via. Orangnya cuek, tapi pintar. Agak ke laki-lakian tapi sangat suka dengan warna pink. Untuk kesan pertama dengannya, menurutku dia orang yang asyik namun tidak mudah akrab dengan teman lain. mungkin aku termasuk orang yang beruntung dapat kenal baik dengannya. Kenal baik yang bahkan hal besar terkait keluarganya pun tidak kuketahui. Mungkin aku sedikit tidak ingin tahu tentang hal ini. Via, salah satu karakter yang lumayan mengubah pandanganku selama ini walaupun hanya sedikit. Nikmati hidup dan jangan terlalu memusingkan hal kecil. Mungkin dari sinilah sikap cuekku terhadap sesuatu makin menjadi-jadi. Pada awalnya, slogan itu asyik diikuti namun dapat membuat munculnya penyakit fatal berupa kemalasan yang berlebihan. Untung saja, aku tidak begitu menganut faham ini.
            Kutinggalkan Via dengan memberikan solusi membuat data sendiri terkait tugasnya. Kucari tempat yang kosong tanpa orang-orang. Ingin menenangkan diri. Dari kejauhan, kulihan seorang senior yang mendekati temanku. Kurasakan diriku nyengir dengan sendirinya. Senior itu, sebut saja kak Deqi. Seorang yang aktif dalam organisasi. Sangat aktif dan memiliki sejuta kepercayaan dalam berbicara. Tanpa keraguan dan cuek. Entah kenapa, aku sangat tertarik dengan orang yang cuek tapi berjiwa kuat. Itulah dia. Diawal masuk kuliah, aku dan juga beberapa temanku sempat terpengaruh dengan kata-katanya. Bahkan menjadikannya sebagai objek dalam tugas kuliahku mengenai “pendapatmu tentang mahasiswa”. Seorang yang dikatakan mahasiswa sejati apabila ia mampu menyumbangkan keahliannya ke orang banyak dan menyalurkan imspirasinya ke khalayak. Penyampaiannya yang begitu berwibawa membuat banyak orang tertarik bagaikan kau akan ngefollow orang itu berkali-kali, bahkan ribuan kali kalau seandanya bisa. Pesan itu sangatlah berarti, sehingga kita para mahasiswa tidak hanya bisa berpikir untuk cepat menyelesaikkan kuliah, kerja dan nikah. Melainka kuliah dan berkarya tanpa batas. Apa gunanya kuliah tanpa itu?
            Namun, kewibawaanya tiba-tiba mulai memudar seiring berjalanya waktu. Keadaanya makin berantakan dan tersebar gossip yang tidak jelas tentangnya. Aku bukanya orang yang segampang itu mempercayai berita tidak jelas seperti itu. Tapi didukung dengan tampangnya yang sekarang, bisa saja seperti dugaan yang lainya. Beberapa hari yang lalu aku memdengar kalau Kak Deqi membuka sebuah pusat grosir. Ternyata dia begitu sibuk dengan usaha barunya sehingga sering muncul gosip aneh tentang Kak Deqi. “Seorang yang dikatakan mahasiswa sejati apabila ia mampu menyumbangkan keahliannya ke orang banyak dan menyalurkan imspirasinya ke khalayak” kataku sambil tersenyum. Itu benar.
            Kukeluarkan kembali proposal dari tas batikku. Kuperhatikan halaman awalnya. Bagus. Sangat bagus. Namun apabila dicercah dengan seksama, memang betul kata Beliau. Tapi bukankah pada umumnya ketertarikan seseorang dimulai pada sampul depannya?. Diawal akan ada rasa kesenangan dengan buku yang engkau beli namun setelah membacanya, ketertarikan itu makin berkurang. Semakin mengetahuinya, semakin tak tertarik. Pada umumnya buku yang kutemui seperti itu, tapi ini tidak berlaku dengan beberapa buku karya orang-orang bermutu. Memiliki magic saat membacanya.
            Aku mulai bangkit. Bersenandung menghibur diri sendiri menuju Himpunan. Setidaknya disana akan ada yang memberikan masukan yang baik tentang proposalku ini. Dari kejauhan kulihat Kak Sekra sedang bercanda dengan beberapa senior lain. Aku makin terhibur. Entah kenapa. Dari sini aku akan menjelaskan beberapa sampul-sampul yang kutemui.
Inilah yang tadi kukatakan, membeli buku dari sampulnya. Wajahnya selalu senang bagaimana pun keadaanya. Bahkan aku sempat bepikir kalau Kak Sekra ini tidak memiliki masalah hidup sedikit pun. Keculi saat ia memasang wajah kantuknya. Wah, bakal jelek banget. Untuk senior yang satu ini, bisa dikata sampul dan isi bacaanya sangat singkron.
            “Aduh!” kataku sambil memegang lenganku yang tersambar oleh seseorang yang berlari dari belakang.
            “Maaf. Nggak ngapa-ngapa kan?” katanya sambil menoleh sebentar dan kembali  berlari menuju arah tujuannya.
            “Sungguh tak beruntungnya aku” ujarku saat ia berlalu.
            Mungkin dia tidak mengenalku. Tapi aku mengenalnya. Sampul kedua. Seseorang yang sering memakai warna baju yang sama selama 3 hari berturut-turut. Ini bukan karena keterbatasan koleksi baju tapi sepertinya memang dia suka dengan hal itu. Aku sendiri sering bertanya apakah itu untuk menarik perhatian seseorang? Apabila tadi aku mengatakan kalau Kak Sekra adalah seseorang yang antara sampul dan isinya sangat singkron. Maka, orang yang tadi menyenggolku beda. Ini sama persis dengan sampul proposalku ini. Tidak usah dijelaskan. Aku tidak akan menghabiskan waktuku dengan hal seperti ini.
            Kulanjutkan langkahku yang terhenti sesaat hingga sampai di pintu Himpunan. Seseorang keluar dengan tersenyum. Senyum yang sepertinya berkata “Sabar, masih ada kesempatan. Dibuat lagi yang lebih baik”. Sepertinya dia tahu kalau proposalku ditolak lagi. Ini adalah sampul ketiga, kak Fahmi. Diawal pertemuan, kuanggapnya biasa saja seperti orang usil pada umumnya. Perkenalan saat ditugaskan untuk mewawancarai seorang senior untuk berita bulletin minggu itu.
            “Menurut aku, pers mahasiswa saat ini tidak begitu dikenal dan diketahui khalayak banyak. Masalahnya mungkin terkendala dikegiatanya. Contohnya saja madingnya sendiri tidak rutin terbit bahkan buletinya tidak pernah aku dapatkan”, ucapnya sambil sedikit bercanda.
            “Iya, makasih kak…” kataku tertegun. Geram rasanya. Namun kukuasai diriku segera. Kuingat apa tugasku selanjutnya “bisa minta take gambarnya satu kali?”
            “Oo… dikirim saja yah” katanya sambil mengelurkan handphone dari sakunya.
            Miris sekali pendapatnya, memang betul apa adanya. Tapi mau dikata apa? Aku sendiri dari hati yang paling dalam juga berpendapat begitu. Yang harusnya dilakukan adalah terus berjuang dan membangkitkan minat para generasi muda akan perkembangan pers itu sendiri.
            Kebetulan sekali kali ini aku ditugaskan dalam tim yang sama dengan Kak Fahmi. Agak kecewa rasanya. Tapi kekecewaan yang sesungguhnya seharusnya terjadi apabila aku menolak satu tim dengannya. Dibalik sikapnya yang amburadul itu, terdapat jiwa kepemimpinan yang dimilikinya. Berwibawan dan penuh kepedulian.
            “Tenang saja, ntar kalau dah diperbaiki aku temanin biar langsung kelar” katanya menghibur setelah aku memasuki ruang Himpunan dan menghempaskan tas batik yang sedari tadi minta diturunkan.
            Wajahku tersenyum. Sekali lagi aku ragu dengan suatu sampul. Sering menipu. Seandainya kita dapat mengintip beberapa lembaran dalam buku tersebut, maka akan mengurangi dugaan-dugaan yang akan muncul. Seorang teman pernah berkta kepadaku “baca dulu sinopsisnya” ataukah “liat belakangnya”. Sinopsis dalam suatu novel mungkin saja dapat membantu, namu buku pelajaran,buku motivasi, ataupun buku-buku lain pada umumnya hanya menampilkan pendapat para pembaca lainnya, memberikan potongan-potongan yang begitu samar. Bacaan di bagian belakang buku menurutku malah membuat kita makin tertipu. Menyembnyikan cerita yang sebenarnya. Ataukah dari sini dihrapakan pembaca merasa tertarik?
            Kak Ulla. Sebuah sampul motivasi. Diawalnya akan ada ketertarikan untuk membacanya. Penuh dengan ide dan pendapat. Namun menjelang seluruhnya terbaca semua, maka akan ada kebosanan yang terjadi. Tidak begitu lucu dan selalu datar tanpa misteri. Pernah suatu ketika aku berencana bercanda dengannya. Dan hasilnya, gagal total. Mungkin saja bercandaanku kurang menarik tapi tahukah kau, dia, merespon pun tidak.
            Lamunan yang panjang menyadarkanku akan banyaknya waktuku yang terbuang. Telah banyak sampul yang kupikirkan. Semuanya beraneka ragam. Diantara seluruh sampul apakah ada yang sangat menarik untuk dibaca? Apabila telah sampai masa jenuhku akan sesuatu, maka aku tak akan merempet diantaranya. Aku ingin bebas. Melihat seluruh dunia. Entah kenapa, mungkin telah menjadi kebiasaanku, saat telah kenal dengan seseorang maka akan kuperhatikan mereka dan akan kucatat semua prilakunya dalam benakku. Ini bukan aksi spy yang kulakukan mengingat terkadang aku terobsesi ingin menjadi seorang detektif setelah membaca subuah karangan dari seorang Norah McClintock. Bukan karena suatu hal tapi karena telah menjadi kebiasaanku. Saat kau merasa diawasi, maka dirimu telah tercatat menjadi sebuat file dalam kepalaku dan kuberi nama Sampul.
            Kuputuskan untuk beranjak dari tempat dudukku. Bosan. Kulambaikan tangan secukupnya pada senior yang ada disana. “Lebih baik ketempat teman-teman yang lain” batinku dalam hati.
            Depan jurusan. Dibawah pohon yang tidak begitu rindang-rindang banget. Kuambil posisi duduk yang pas. Dari kejauhan, kulihat seorang temanku yang menurut pendapatku dia itu mirip dengan orang India. Sebenarnya, tidak ada miripnya sama sekali. Hanya mungkin ada suatu hal yang tak dapat diungkapkan sehingga pantas diberi gelar Chanchat olehku. Orangnya playboy cap Distro tapi sangat baik. “Tapi dia baik dan murah senyum” tangkis temanku saat kuceritakan sikapnya yang playboy. Mantap sekali. Disampingnya berjalan temannya yang bagaimana mau dikata, sangat menjaga pribadinya. Pernah karena suatu hal yang sangat sepeleh, dia menjadi orang terkenal.
            Teman Chanchat. Kuperiksa filenya dalam kepalaku. File dengan sampul bergambar Sasuke. Aku tidak suka dengan karakter teman Naruto itu. Selalu menganggap remeh orang lain. Tapi mungkin ada beberapa hal yang tidak kuketahui sehingga Sakura tertarik dengannya. Sasuke sama saja. Sasuke tetap saja sasuke. Namun, segera kupahami. Tidak seluruhnya sama dengan cerita. Kau harus membacanya hingga akhir. Ini sampul terakhir yang kutemui. Akan kutambah sampul-sampul yang lain beberapa waktu kedepan. Kupersiapkan memoriku. Kutambah kapasitasnya. Memetik hal yang baik dalam tiap cerita dan menyimpan baik-baik masa yang kelam sebagai bahan pelajaran kedepannya.
            Riset yang terakhir untuk saat ini kulakukn. Sampul terakhir ini sulit sekali kutebak. Entah bagaimana ekspresinya. Bukan seorang autism yang memiliki muka seribu namun sikapnya yang cuek namun ramah sangat menjadi tanda tanya. Apabila aku seorang Phisikolog maka akan kukupas habis kasus ngenyelinik ini. Sering ikut andil dalam suatu kegiatan namun penuh bisu. Ungkap seseorang padaku tanpa ditanya “pendapatnya sangat fantastis”. Aku meng-Oh-kan saja kata-katanya. Munculnya keterkesanan diriku dikarenakan sikapnya yang selalu ingin aktif membantu. Selalu tahu dimana posisinya saat masuk dalam suatu kelompok. Pernahkah kau merasa tidak berguna atau tidak tahu apa yang mesti dilakukan saat semua orang sibuk tanpa memberimu kode agar membantunya? Disinilah dia. Selalu tahu akan keberadaanya.
            Suatu tangan melayang kebelakang pundakku. Silva. Sangat mengagetkan. “Buruan, dosen dah menuju kelas!” katanya nyengir tanpa menghiraukan tampang kagetku. Sepanjang hari hatiku risau karena sebuah proposal dan aku baru saja sadar kalau ada tugas yang diberikan oleh dosenku
“Tugasmu udah selesai?” tanyaku.
“Tentu saja” jawabnya sambil mengeluarkan beberapa lembaran dalam map kotaknya “Banyak sekali, ini pun belum selesai” katanya menggeleng. Makin risau hatiku dibuatnya.
            Mampus saja. Sedikit pun belum ada yang kukerjakan. Menengok soalnya saja tidak. Semalam dengan sistem SKS aku meperbaiki proposalku. Hasilnya tidak dapat dikata. Tidak satu pun yang beres hari ini. Aku hanya tinggal memandangi Silva. Tidak sangka temanku yang jago nonton anime ini menyelesaikan tugasnya. Terpaku. Kubiarkan diriku dalam kekosongan. Seandainya aku ditempah oleh buah mangga dari pohon ini dan membuatku pingsan, itu tak masalah asal bisa keluar dari masalah ini. Aku butuh pengaturan waktu yang baik.
            “Cepat!” bentak Silva sambil menarikku. Kurasa, hal paling tepat menggambarkan diriku adalah hanya bagaikan boneka yang ditarik dengan paksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar