SEKADAR
SAMPUL
Sebuah cerpen oleh Amaliah Zj yang keluar sebagai juara 2 dalam lomba cerpen Excellent HMK UNM 2013 bertema "Mahasiswa Inspiratif"
google pict.
Apabila kau telah beranjak kuliah,
maka pikiranmu tak akan selalu dipenuhi keterkekangan. Kecuali kalau kau itu
orang yang alot dalam menanggapi hidup. Hanya dipenuhi dengan perintah dosen
yang bersangkutan. Datang dan pergi ke kampus disaat adanya jadwal kuliah.
Namun, disini aku berada. Berdiri diantara cahaya yang mengajakku berjalan
menuju masa depan yang kuinginkan. Berpikir untuk terus maju, berpikir kedepan,
berpikir bagaimana cara berpenghasilan dengan cepat tanpa memberatkan orang
tua. Bagiku, waktu adalah obat. Meskipun sering tertipu oleh waktu, tapi aku
tidak membencinya karena waktu akan mengajakku berjalan-jalan menemui banyak
karakter. Diantara karakter itu, semuanya gugur satu persatu tapi ada pula yang
tetap bertahan. Mereka datang dengan senyuman penuh wibawah, dan pergi dengan
kenangan yang tidak begitu berarti.
Pikiranku dibunyarkan oleh seseorang
yang melintang dihadapanku. Suaranya telah kudengar sepanjang pagi ini. Sangat
berisik. Aku bosan dipanggil dengan cara seperti ini. Dia semakin mendekat.
Wajahnya memelas. Belum selesai dengan tugas kuliahnya sepertinya. Seperti
biasa, aku yang akan menjadi penopangnya. Sebenarnya ini bukanlah masalah yang
besar kalau saja dia tidak terus-terusan memanggil namaku.
“Rekha, gimana nih dengan nasib aku
ini?” katanya memasang wajah memelas sambil menunjukkan giginya yang putih.
“Wah, gimana lagi.. Datanya nggak
bisa terkirim. Cari data manual saja” Jawabku dengan cuek. Ini yag kesekian
kalinya dia berkata seperti itu. “Minta tolong ke teman yang lain kayaknya
nggak begitu memberatkan deh”, batinku.
Kalau saja proposal yang kuajuakan
ke ketua jurusan tidak berkali-kali ditolak, pasti sikapku tidak akan sejutek
ini. Proposal ini telah aku susun berminggu-minggu dan ditolak begitu saja
tanpa membacanya secara secara memyeluruh. Apakah ini karena kurang mahirnya
teknik melobi yang kumiliki? Boro-borobo melobi, dibiarkan menjelaskan saja
tidak diizinkan. Kesalahan ditolaknya proposalku ini karena sampul halaman yang
“katanya” tidak singkron. Wajar enggak?. Ditambah lagi beberapa hari ini para
dosen memajukan seluruh final meraka. Tugas bertumpuk.
Kembali lagi ke temanku yang satu
ini. Sebut saja Via. Orangnya cuek, tapi pintar. Agak ke laki-lakian tapi
sangat suka dengan warna pink. Untuk kesan pertama dengannya, menurutku dia
orang yang asyik namun tidak mudah akrab dengan teman lain. mungkin aku
termasuk orang yang beruntung dapat kenal baik dengannya. Kenal baik yang bahkan
hal besar terkait keluarganya pun tidak kuketahui. Mungkin aku sedikit tidak
ingin tahu tentang hal ini. Via, salah satu karakter yang lumayan mengubah
pandanganku selama ini walaupun hanya sedikit. Nikmati hidup dan jangan terlalu
memusingkan hal kecil. Mungkin dari sinilah sikap cuekku terhadap sesuatu makin
menjadi-jadi. Pada awalnya, slogan itu asyik diikuti namun dapat membuat
munculnya penyakit fatal berupa kemalasan yang berlebihan. Untung saja, aku
tidak begitu menganut faham ini.
Kutinggalkan Via dengan memberikan
solusi membuat data sendiri terkait tugasnya. Kucari tempat yang kosong tanpa
orang-orang. Ingin menenangkan diri. Dari kejauhan, kulihan seorang senior yang
mendekati temanku. Kurasakan diriku nyengir dengan sendirinya. Senior itu,
sebut saja kak Deqi. Seorang yang aktif dalam organisasi. Sangat aktif dan
memiliki sejuta kepercayaan dalam berbicara. Tanpa keraguan dan cuek. Entah
kenapa, aku sangat tertarik dengan orang yang cuek tapi berjiwa kuat. Itulah
dia. Diawal masuk kuliah, aku dan juga beberapa temanku sempat terpengaruh
dengan kata-katanya. Bahkan menjadikannya sebagai objek dalam tugas kuliahku
mengenai “pendapatmu tentang mahasiswa”. Seorang yang dikatakan mahasiswa
sejati apabila ia mampu menyumbangkan keahliannya ke orang banyak dan
menyalurkan imspirasinya ke khalayak. Penyampaiannya yang begitu berwibawa
membuat banyak orang tertarik bagaikan kau akan ngefollow orang itu
berkali-kali, bahkan ribuan kali kalau seandanya bisa. Pesan itu sangatlah berarti,
sehingga kita para mahasiswa tidak hanya bisa berpikir untuk cepat
menyelesaikkan kuliah, kerja dan nikah. Melainka kuliah dan berkarya tanpa
batas. Apa gunanya kuliah tanpa itu?
Namun, kewibawaanya tiba-tiba mulai
memudar seiring berjalanya waktu. Keadaanya makin berantakan dan tersebar
gossip yang tidak jelas tentangnya. Aku bukanya orang yang segampang itu
mempercayai berita tidak jelas seperti itu. Tapi didukung dengan tampangnya
yang sekarang, bisa saja seperti dugaan yang lainya. Beberapa hari yang lalu aku
memdengar kalau Kak Deqi membuka sebuah pusat grosir. Ternyata dia begitu sibuk
dengan usaha barunya sehingga sering muncul gosip aneh tentang Kak Deqi.
“Seorang yang dikatakan mahasiswa sejati apabila ia mampu menyumbangkan
keahliannya ke orang banyak dan menyalurkan imspirasinya ke khalayak” kataku
sambil tersenyum. Itu benar.
Kukeluarkan kembali proposal dari
tas batikku. Kuperhatikan halaman awalnya. Bagus. Sangat bagus. Namun apabila
dicercah dengan seksama, memang betul kata Beliau. Tapi bukankah pada umumnya
ketertarikan seseorang dimulai pada sampul depannya?. Diawal akan ada rasa kesenangan
dengan buku yang engkau beli namun setelah membacanya, ketertarikan itu makin
berkurang. Semakin mengetahuinya, semakin tak tertarik. Pada umumnya buku yang
kutemui seperti itu, tapi ini tidak berlaku dengan beberapa buku karya
orang-orang bermutu. Memiliki magic saat membacanya.
Aku mulai bangkit. Bersenandung menghibur
diri sendiri menuju Himpunan. Setidaknya disana akan ada yang memberikan
masukan yang baik tentang proposalku ini. Dari kejauhan kulihat Kak Sekra
sedang bercanda dengan beberapa senior lain. Aku makin terhibur. Entah kenapa. Dari
sini aku akan menjelaskan beberapa sampul-sampul yang kutemui.
Inilah yang tadi kukatakan, membeli buku
dari sampulnya. Wajahnya selalu senang bagaimana pun keadaanya. Bahkan aku
sempat bepikir kalau Kak Sekra ini tidak memiliki masalah hidup sedikit pun.
Keculi saat ia memasang wajah kantuknya. Wah, bakal jelek banget. Untuk senior
yang satu ini, bisa dikata sampul dan isi bacaanya sangat singkron.
“Aduh!” kataku sambil memegang
lenganku yang tersambar oleh seseorang yang berlari dari belakang.
“Maaf. Nggak ngapa-ngapa kan?” katanya
sambil menoleh sebentar dan kembali
berlari menuju arah tujuannya.
“Sungguh tak beruntungnya aku” ujarku
saat ia berlalu.
Mungkin dia tidak mengenalku. Tapi
aku mengenalnya. Sampul kedua. Seseorang yang sering memakai warna baju yang
sama selama 3 hari berturut-turut. Ini bukan karena keterbatasan koleksi baju
tapi sepertinya memang dia suka dengan hal itu. Aku sendiri sering bertanya apakah
itu untuk menarik perhatian seseorang? Apabila tadi aku mengatakan kalau Kak
Sekra adalah seseorang yang antara sampul dan isinya sangat singkron. Maka,
orang yang tadi menyenggolku beda. Ini sama persis dengan sampul proposalku
ini. Tidak usah dijelaskan. Aku tidak akan menghabiskan waktuku dengan hal
seperti ini.
Kulanjutkan langkahku yang terhenti
sesaat hingga sampai di pintu Himpunan. Seseorang keluar dengan tersenyum.
Senyum yang sepertinya berkata “Sabar, masih ada kesempatan. Dibuat lagi yang
lebih baik”. Sepertinya dia tahu kalau proposalku ditolak lagi. Ini adalah
sampul ketiga, kak Fahmi. Diawal pertemuan, kuanggapnya biasa saja seperti
orang usil pada umumnya. Perkenalan saat ditugaskan untuk mewawancarai seorang
senior untuk berita bulletin minggu itu.
“Menurut aku, pers mahasiswa saat
ini tidak begitu dikenal dan diketahui khalayak banyak. Masalahnya mungkin
terkendala dikegiatanya. Contohnya saja madingnya sendiri tidak rutin terbit
bahkan buletinya tidak pernah aku dapatkan”, ucapnya sambil sedikit bercanda.
“Iya, makasih kak…” kataku tertegun.
Geram rasanya. Namun kukuasai diriku segera. Kuingat apa tugasku selanjutnya
“bisa minta take gambarnya satu kali?”
“Oo… dikirim saja yah” katanya
sambil mengelurkan handphone dari sakunya.
Miris sekali pendapatnya, memang
betul apa adanya. Tapi mau dikata apa? Aku sendiri dari hati yang paling dalam
juga berpendapat begitu. Yang harusnya dilakukan adalah terus berjuang dan
membangkitkan minat para generasi muda akan perkembangan pers itu sendiri.
Kebetulan sekali kali ini aku
ditugaskan dalam tim yang sama dengan Kak Fahmi. Agak kecewa rasanya. Tapi
kekecewaan yang sesungguhnya seharusnya terjadi apabila aku menolak satu tim
dengannya. Dibalik sikapnya yang amburadul itu, terdapat jiwa kepemimpinan yang
dimilikinya. Berwibawan dan penuh kepedulian.
“Tenang saja, ntar kalau dah
diperbaiki aku temanin biar langsung kelar” katanya menghibur setelah aku memasuki
ruang Himpunan dan menghempaskan tas batik yang sedari tadi minta diturunkan.
Wajahku tersenyum. Sekali lagi aku
ragu dengan suatu sampul. Sering menipu. Seandainya kita dapat mengintip
beberapa lembaran dalam buku tersebut, maka akan mengurangi dugaan-dugaan yang
akan muncul. Seorang teman pernah berkta kepadaku “baca dulu sinopsisnya”
ataukah “liat belakangnya”. Sinopsis dalam suatu novel mungkin saja dapat
membantu, namu buku pelajaran,buku motivasi, ataupun buku-buku lain pada
umumnya hanya menampilkan pendapat para pembaca lainnya, memberikan
potongan-potongan yang begitu samar. Bacaan di bagian belakang buku menurutku
malah membuat kita makin tertipu. Menyembnyikan cerita yang sebenarnya. Ataukah
dari sini dihrapakan pembaca merasa tertarik?
Kak Ulla. Sebuah sampul motivasi.
Diawalnya akan ada ketertarikan untuk membacanya. Penuh dengan ide dan
pendapat. Namun menjelang seluruhnya terbaca semua, maka akan ada kebosanan
yang terjadi. Tidak begitu lucu dan selalu datar tanpa misteri. Pernah suatu
ketika aku berencana bercanda dengannya. Dan hasilnya, gagal total. Mungkin
saja bercandaanku kurang menarik tapi tahukah kau, dia, merespon pun tidak.
Lamunan yang panjang menyadarkanku
akan banyaknya waktuku yang terbuang. Telah banyak sampul yang kupikirkan.
Semuanya beraneka ragam. Diantara seluruh sampul apakah ada yang sangat menarik
untuk dibaca? Apabila telah sampai masa jenuhku akan sesuatu, maka aku tak akan
merempet diantaranya. Aku ingin bebas. Melihat seluruh dunia. Entah kenapa,
mungkin telah menjadi kebiasaanku, saat telah kenal dengan seseorang maka akan
kuperhatikan mereka dan akan kucatat semua prilakunya dalam benakku. Ini bukan
aksi spy yang kulakukan mengingat
terkadang aku terobsesi ingin menjadi seorang detektif setelah membaca subuah karangan dari seorang Norah McClintock. Bukan karena suatu hal
tapi karena telah menjadi kebiasaanku. Saat kau merasa diawasi, maka dirimu
telah tercatat menjadi sebuat file dalam kepalaku dan kuberi nama Sampul.
Kuputuskan untuk beranjak dari
tempat dudukku. Bosan. Kulambaikan tangan secukupnya pada senior yang ada
disana. “Lebih baik ketempat teman-teman yang lain” batinku dalam hati.
Depan jurusan. Dibawah pohon yang
tidak begitu rindang-rindang banget. Kuambil posisi duduk yang pas. Dari
kejauhan, kulihat seorang temanku yang menurut pendapatku dia itu mirip dengan
orang India. Sebenarnya, tidak ada miripnya sama sekali. Hanya mungkin ada
suatu hal yang tak dapat diungkapkan sehingga pantas diberi gelar Chanchat olehku. Orangnya playboy cap
Distro tapi sangat baik. “Tapi dia baik dan murah senyum” tangkis temanku saat
kuceritakan sikapnya yang playboy. Mantap sekali. Disampingnya berjalan
temannya yang bagaimana mau dikata, sangat menjaga pribadinya. Pernah karena
suatu hal yang sangat sepeleh, dia menjadi orang terkenal.
Teman Chanchat. Kuperiksa filenya dalam kepalaku. File dengan sampul
bergambar Sasuke. Aku tidak suka dengan karakter teman Naruto itu. Selalu
menganggap remeh orang lain. Tapi mungkin ada beberapa hal yang tidak kuketahui
sehingga Sakura tertarik dengannya. Sasuke sama saja. Sasuke tetap saja sasuke.
Namun, segera kupahami. Tidak seluruhnya sama dengan cerita. Kau harus
membacanya hingga akhir. Ini sampul terakhir yang kutemui. Akan kutambah sampul-sampul
yang lain beberapa waktu kedepan. Kupersiapkan memoriku. Kutambah kapasitasnya.
Memetik hal yang baik dalam tiap cerita dan menyimpan baik-baik masa yang kelam
sebagai bahan pelajaran kedepannya.
Riset yang terakhir untuk saat ini
kulakukn. Sampul terakhir ini sulit sekali kutebak. Entah bagaimana
ekspresinya. Bukan seorang autism
yang memiliki muka seribu namun sikapnya yang cuek namun ramah sangat menjadi
tanda tanya. Apabila aku seorang Phisikolog
maka akan kukupas habis kasus ngenyelinik
ini. Sering ikut andil dalam suatu kegiatan namun penuh bisu. Ungkap seseorang
padaku tanpa ditanya “pendapatnya sangat fantastis”.
Aku meng-Oh-kan saja kata-katanya. Munculnya keterkesanan diriku dikarenakan
sikapnya yang selalu ingin aktif membantu. Selalu tahu dimana posisinya saat
masuk dalam suatu kelompok. Pernahkah kau merasa tidak berguna atau tidak tahu
apa yang mesti dilakukan saat semua orang sibuk tanpa memberimu kode agar
membantunya? Disinilah dia. Selalu tahu akan keberadaanya.
Suatu tangan melayang kebelakang
pundakku. Silva. Sangat mengagetkan. “Buruan, dosen dah menuju kelas!” katanya
nyengir tanpa menghiraukan tampang kagetku. Sepanjang hari hatiku risau karena
sebuah proposal dan aku baru saja sadar kalau ada tugas yang diberikan oleh
dosenku
“Tugasmu udah selesai?” tanyaku.
“Tentu saja” jawabnya sambil
mengeluarkan beberapa lembaran dalam map kotaknya “Banyak sekali, ini pun belum
selesai” katanya menggeleng. Makin risau hatiku dibuatnya.
Mampus saja. Sedikit pun belum ada
yang kukerjakan. Menengok soalnya saja tidak. Semalam dengan sistem SKS aku
meperbaiki proposalku. Hasilnya tidak dapat dikata. Tidak satu pun yang beres
hari ini. Aku hanya tinggal memandangi Silva. Tidak sangka temanku yang jago
nonton anime ini menyelesaikan
tugasnya. Terpaku. Kubiarkan diriku dalam kekosongan. Seandainya aku ditempah
oleh buah mangga dari pohon ini dan membuatku pingsan, itu tak masalah asal
bisa keluar dari masalah ini. Aku butuh pengaturan waktu yang baik.
“Cepat!” bentak Silva sambil
menarikku. Kurasa, hal paling tepat menggambarkan diriku adalah hanya bagaikan
boneka yang ditarik dengan paksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar