Kamis, 21 November 2013

KAKTUS PUN LAYU



KAKTUS PUN LAYU
Cerpen karya Alim Al Ayubi sebagai Juara 1 Lomba Cerpen Excellent HMK UNM 2013 bertema "Mahasiswa Inspiratif"


 google pict.
Usai gerimis tadi pagi, ku dapati langkahku terseok menelusuri rangkaian jalan-jalan setapak. Menyapa langit yang dari jauh tampak berwarna biru keunguan. Kepada violet di angkasa lepas, rebahkanlah karuniamu untuk usahaku, juga untuk pohon ketapang pagi yang menyimpan banyak kenangan masa laluku. Bernostalgia dan bercengkrama lagi dengan akar dan tangkainya adalah alasan langkahku tergerak dan terhenti di sini. Di sela suara asmara udara pagi, aku kembali mengingatmu.
Sekarang daun ketapang telah memerah, aku menatapnya sejak tadi di balik gorden-gorden angin yang secara sepoi membelaiku. Membuktikan sejak tiga tahun lalu aku tak pernah lagi lari dari kerasnya hidup. Warna merah yang tersaji di hadapanku, mengingatkanku tentang caramu berjuang, caramu bernafas, caramu menatap tajam, caramu mengasah ratusan kepala di depan gedung rektorat yang dindingnya sekarang tampak ditumbuhi lumut. Akulah satu yang paling mengerti bagaimana konsep mengalir jernih di kepalamu.
***
Tiga tahun lalu, kau menyapaku dengan salam penuh makna, dengan teori yang tidak rasional dan sebab yang tak pernah ku pahami ketika kulit pipiku mengembang perlahan menatapmu. Membentuk sabit yang tak serupa bulan, dan lesung yang sering kau puja. Kau sering mengalunkan puisi yang penuh makna kepadaku, karena itulah keahlianmu. Kau pandai berbicara dan membentuk kalimat retorika, kau dengan mudahnya menusukkan ratusan ideologi kepada setiap orang yang keteguhannya mirip denganmu, termasuk kau pandai memikat hati. Memikat hatiku. Semuanya itu kau lakukan hanya dengan sebilah alat. Alat yang kusebut Kata-kata.
Aku mengenal sosokmu lewat ruang yang tak romantis dan nada senyap forum kajian mahasiswa. Saat ketika kau hentakkan tanganmu di atas meja, dan berbicara lantang memecah kesunyian seperti seniman yang sedang melukis gelora singa. Sehingga yang kau katakan tampak seperti gambaran kenyataan yang sebenarnya terjadi. Gambaran yang ingin kau hapus dan kau lukis ulang. Ideologimu yang seperti itu akulah yang paling mengerti.

Saya ingin berdiri di masa depan sebagai sosok yang diakui. Saya akan mengubah sistem buruk di negara ini. Saya Akan Menjadi Presiden!”

Saat itu, aku tersenyum bangga dengan keteguhanmu. Sosok pemimpin yang pantang menyerah, yang pidatonya tidak komat-kamit. Kalimat seperti itu sering kau ulang secara tegas di depanku, hampir setiap kita sempat pulang kuliah bersama. Karena Aku mempercayaimu, dan aku mendukungmu.
Kau dan aku memanglah beda kelas waktu itu, aku lebih banyak berbahasa hitung-hitungan dan statistika pada kuliahku. Sedang kau bergelut di bidang pendidikan. Bidang yang menciptakan kemampuanmu bertutur. Tapi, kita sering bersama hampir setiap saat. Pada sudut ruang yang bahasannya tentang negara dan rakyat. Kau di podium berpidato sebagai Presiden Mahasiswa, dan aku di kursi audiensi menatapmu kagum. Banyak yang yakin kalau kau pantas menjadi Presiden Negara nantinya. Bukan cuma mahasiswa di dalam kampus. Tapi juga di luar kampus. Di setiap organisasi mahasiswa yang mengenalmu. Bahkan di setiap pedagang kerupuk, pedagang es teler, atau pedagang rokok yang sempat kau ajak berteori. Bahkan kau sempat di lirik oleh sebuah partai politik bukan, namun kau tolak mentah-mentah karena yang ku tau kau benci negaramu di jadikan barang judi oleh partai politik. Melihatmu ada di dunia. Kami seolah punya gambaran tentang masa depan negeri ini. Kami semua mendukungmu dan aku tak akan letih mengagumimu.

Jika di dunia ini saya terlahir sebagai tanaman, maka saya akan menjadi Kaktus. yang selalu tegar di hamparan padang pasir yang panas dan luas. Karena apapun bentuk diriku, aku tidak akan layu jika itu harus melawan ketidak adilan!”

Waktu itu, untuk kesekian kalinya dengan kata-kata dan kegigihanmu membuatku terkagum. Kalimat itu, adalah kalimat kedua yang sering kau ucap berulang-ulang di depanku. Di bawah pohon ketapang yang sering meneduhkan kita sore harinya. Aku menyukai tempat itu, karena setiap usai kuliah, aku sering melihatmu duduk menungguku di sana. Kursi merah di bawah pohon ketapang itu adalah benda yang tak akan hilang dari kenanganku. Karena lewat kursi itu, aku bisa lebih mengenalmu dan meminum setiap tegukan pengetahuanmu. Tak sekalipun ku urungkan niatku untuk meng-imamimu.

Aku akan bangga jika kekasihku adalah presiden nantinya, Aku akan mendukungmu dengan sepenuh hatiku” Tuturku sopan kepadanya. Saat itu, Ku ingat tepatnya 30 april tiga tahun silam.
Saya sangat serius akan cita-cita itu, karena ada yang salah di negeri ini. Dan ada yang harus mengubahnya. Kita harus berhenti menunggu, dan berkoar yang tidak jelas!

Usai percakapan sore, kami melanjutkan petualangan asmara pada malam bulan baru. Tepat di seberang jalan, di dekat bunga asoka yang sering kita lewati saat pulang. Ketika itu Kau menyapa seorang anak kecil yang tengah berjualan keripik pisang. Sambil kau usap kepalanya dan menyodorkan uang dua ribuan.
adek tidak ada PR untuk besok?”

“Tidak bang, saya sudah tidak sekolah lagi”

“Kenapa begitu? Bukankah sekolahnya gratis?”

“Memang, tapi dari pada dipukulin melulu sama guru di kelas. Lebih baik jualan keripik. Dapat uang pula”

“Pasti adek nakal?”

“Tidak bang, saya bahkan sering bertanya tapi keseringan gak ditanggapi. Pas masuk cuma dikasi tugas dan tugas. Kalau gak tau malah dimarahi. Jadi gak ada keinginan untuk sekolah lagi. Temanku Anwar juga begitu”

“Oh, begitu….”

“iya bang! Kalau dari kecil pendidikan tidak benar, maka kedepannya pasti bakalan hancur juga! Dari pada hancur. Mending berhenti saja. Kata Mak-nya Anwar, Pendidikan yang pertama kali harus di perbaiki!”

Sambil mengusap lagi kepala anak kecil itu, kau berdiri dan menyodorkan bungkusan keripik pisang kepadaku. Untuk pertama kalinya, aku melihatmu tidak banyak bicara saat keadaannya seperti itu. Kau menyeret tanganku untuk pulang. Di tengah perjalanan, kau terus menanyakan solusi dari perkataan anak tadi. Aku diam sebab kau bersikap tidak seperti biasanya. Jam tanganmu saat itu menunjukkan setengah delapan malam. Kita berpisah lewat jalan setapak. Sambil ku ingat wajahmu yang sejak tadi tampak murung.
Sistem pemerintahan pada masa itu sangat buruk, sekolah memang tidak berfungsi sebagaimana sekolah pada umumnya, Orang tua dan anak-anak mulai menjalar memasang pakaian kumuh dan wajah iba pada setiap jas yang dan sepatu kulit yang berjalan. Negara banyak ditumbuhi menara-menara tinggi, dan benihnya bukan dari anak bangsa. Buahnya pun semuanya dibawa ke Negara lain dan tidak dimakan sendiri. Perusahaan asing adalah pemegang kendali Negara saat itu, hampir setiap harinya terjadi bentrok, demonstrasi, dan sebagainya. Hanya di tempat kecil seperti ini kau bertahan. Menyusun rencana untuk mengubah sistem.   
Semenjak mengenalmu, aku seperti terlahir sebagai sosok baru. Darimu, aku banyak belajar hal baru. Kau banyak menginspirasiku dari segala sudut teori kehidupan. Sore itu, usai seminar pendidikan yang diusung beberapa mahasiswa. Ku lihat kau dengan gaya sederhanamu duduk di bangku merah, di bawah pohon ketapang itu kau tampak mengesankan. Wajahmu dari lima belas meter tempatku berdiri, tampak seperti wajah orang yang sangat ingin mengatakan sesuatu padaku. Wajah itu mengingatkanku saat kau mengutarakan semua isi hatimu padaku dulu. Entah mengapa raut yang seperti itu muncul lagi.
“Saya akan jadi guru”

“Lho, kok Bapak Presiden bicaranya begitu?”

“Iya, saya serius ingin menjadi guru”

“Bukannya Presiden! Tapi, kenapa guru! Menteri pendidikan atau apa ke’!

“Tidak, Saya akan menjadi guru!”

Sambil ku pukul kepalanya dengan buku, aku berdiri. Meletakkan tanganku di kedua sisi pinggangku.

“Aku dan semuanya menaruh banyak harapan padamu! Kau itu sosok perubahan! Kau harus yang memimpin kami! Apa semangatmu layu begitu saja! Karena ocehan anak kecil semalam kah?!

“Gak usah garang gitu. Cantiknya ilang loh. Untuk terakhir kalinya, saya tetapkan langkahku untuk masa depan yang lebih baik. Saya akan menjadi guru, mendirikan banyak sekolah dan mengabdikan diri secara tulus”

Keputusanmu sore itu,  adalah keputusan tiba-tiba. Sempat aku mempertanyakan, kemana perginya logikamu. Saat itu, semua yang tau perubahan sikapmu, terus menanyaiku. Mereka merasa usaha yang selama ini mereka lakukan denganmu sia-sia. Kau seolah ingin membangun ulang konsep dan teori yang ada di kepala mereka. Tapi itu tidaklah mudah. Perlahan mereka akan mempertanyakan prinsipmu. Lalu lambat laun tidak mempercayaimu. Kau seperti berubah menjad sosok lain,
Esok harinya ku tanyakan lagi sikapmu. Tapi kau tetap mengatakan hal yang sama dan itu adalah kalimat ketiga yang sering kau ulang-ulang kepadaku.

Aku akan menjadi guru!”
Kesekian kalinya, kau dengan wajah tak berdosa mengatakan hal itu. Setiap teman yang kau jumpai mulai meledekmu dengan sebutan “bapak guru” dan kau seolah menganggap itu pujian, atau kau memang merasa senang dipanggil begitu. Hampir setiap saat ku tanyakan terus cita-citamu. Berharap kau hanya sedang bercanda dan akan tetap pada prinsip awalmu. Tapi ternyata kau memang serius.

“Aku akan menjadi guru”
Akhirnya pada sebuah forum diskusi. Kau bahasakan pendapatmu tentang pendidikan di Negara kita, dan kau proklamirkan dengan bangga cita-citamu di depan ratusan mahasiswa dan beberapa petinggi mahasiswa. Saat itu, aku belum mendapatkan jawaban yang tapat tentang alasanmu. Aku hanya sangat mengagumimu, sehingga tak ada alasan mengubah haluan hatiku kepadamu.
***
Tiga tahun lalu, kau berdiri sebagai kaktus tegar yang pernah kau ceritakan padaku. Di bawah terik matahari yang seakan menjilat ubun-ubunmu. Sehingga wajahmu penuh dengan air kerja kerasmu saat itu. Dengan alasan dan tujuan yang sama, kau dan aku berdiri di hadapan coretan kotor kehidupan. Sebilah mikrofon di tanganmu mampu mmbuat kau, aku dan pejuang-pejuang yang lain menyongsong tameng-tameng polisi. Bergerak menuju ideologi yang selama ini kau, aku dan  pejuang lain impikan. Beberapa daerah di Negara ini bergerak dalam satuan langkah. Hari itu tepatnya 02 mei pada tahun yang penuh kekeruhan. Gerakan besar kita lakukan secara serempak.
Di tengah kerumunan banyak orang, aku terus menggenggam pinggang bajumu. Perasaanku saat itu entah mengapa merasa aneh dan takut. Tapi melihat ketegaranmu, membuatku dan ribuan orang yang ada ditempat itu terbakar semangatnya. Kita telah memukul mundur polisi saat itu. Sesekali ku sodorkan minuman padamu yang tampak kehausan. Namun kau enggan untuk meneguk air saat itu. Kau hanya berniat untuk mengeluarkan segala peluh di tubuhmu. Sebagai bentuk pengganti perjuangan orang-orang yang telah gugur memperjuangkan Negara ini. Hanya dengan kekuatan seperti itu, kau dengan keberanian yang tak terbatas berdiri di antara barisan pejuang dan polisi. Ketika itu dengan terpaksa ku lepaskan genggamanku di bajumu. Kau mengangkat mikrofonmu dan mengalunkan kata-kata yang nyata dan penuh kemurkaan. Kata-kata kemurkaan yang berasal darimu, dariku, dari pejuang yang lain, dari tangis rakyat yang tersisih oleh kehidupan.
Berdasar atas cita-citamu, kau menyuarakan bentuk pendidikan yang seharusnya menjadi pondasi Negara untuk membangun karya dan perubahan. Kami yang mengikutimu mengepal tangan dan mengangkat setinggi-tingginya. Aku melihatmua dengan ketegaran yang persis seperti kaktus kekar di tengah panasnya padang pasir. Aku akan mengikutimu apapun yang kau impikan.

“Jika Negara yang seharusnya sudah bisa terwujudkan. Aku akan menjadi guru pertama yang memulai perubahan! Kami akan memulai mengangkat batu-batu yang mereka bebankan pada punggung kami. Negara kita seharusnya, tumbuh dengan wajar. Pendidikan, ekonomi, pemerintahan! Kita akan……..”

Saat itu tiba-tiba mikrofon yang tadi kau genggam berdengung keras. Kata-katamu berhenti secara mendadak. Tak terdengar suara tegarmu yang sejak dulu menguatkanku. “Plak!” Terdengar suara mikrofon jatuh di tengah aspal panas.  Jalanan dengan kerumunan orang tampak sunyi sesaat. Lalu kerumunan pejuang berteriak dan berlari menyerang polisi. Air mataku mengalir dengan derasnya menyaksikanmu. Menyaksikanmu tertembak oleh polisi yang tak tau siapa. Jasadmu secara tiba-tiba tak bergerak, tak bersuara, tak bernafas. Aku memelukmu di tengah teori kehidupan yang sering kau ajarkan padaku. Dengan tangis yang sama, pejuang lainnya bergerak dengan murka. Tahun itu adalah tahun kehancuranku.
***
Di depan pohon ketapang ini aku mengenang jasamu. Seandainya kau masih hidup, ingin ku gandeng tanganmu berjalan menyusuri tawa anak-anak yang sekarang tengah bahagia menikmati kerja keras kita. Membangun perubahan tidaklah mudah, tapi aku dengan semua yang telah kau ajarkan bergerak secara teratur membentuk kehidupan.

Kaktus suatu saat akan layu, tapi sebelum itu terjadi, akan tumbuh kaktus baru yang lain. Kaktus baru yang akan melanjutkan perjuangan kaktus yang telah layu.

Seandainya kau masih hidup, ingin ku katakan, kalau aku sekarang adalah seorang Guru. Aku adalah perempuan yang akan setia melanjutkan perjuanganmu. Terima Kasih, sahabat hatiku….
*** (END)***

(Inspirasi ini lahir dari keteguhan seorang perempuan yang ku panggil Hasmirawati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar