KAKTUS PUN LAYU
Cerpen karya Alim Al Ayubi sebagai Juara 1 Lomba Cerpen Excellent HMK UNM 2013 bertema "Mahasiswa Inspiratif"
google pict.
Usai gerimis tadi pagi, ku dapati langkahku terseok
menelusuri rangkaian jalan-jalan setapak. Menyapa langit yang dari jauh tampak
berwarna biru keunguan. Kepada violet di angkasa lepas, rebahkanlah karuniamu untuk
usahaku, juga untuk pohon ketapang pagi yang menyimpan banyak kenangan masa laluku.
Bernostalgia dan bercengkrama lagi dengan akar dan tangkainya adalah alasan
langkahku tergerak dan terhenti di sini. Di sela suara asmara udara pagi, aku
kembali mengingatmu.
Sekarang daun ketapang telah memerah, aku menatapnya
sejak tadi di balik gorden-gorden angin yang secara sepoi membelaiku.
Membuktikan sejak tiga tahun lalu aku tak pernah lagi lari dari kerasnya hidup.
Warna merah yang tersaji di hadapanku, mengingatkanku tentang caramu berjuang,
caramu bernafas, caramu menatap tajam, caramu mengasah ratusan kepala di depan
gedung rektorat yang dindingnya sekarang tampak ditumbuhi lumut. Akulah satu
yang paling mengerti bagaimana konsep mengalir jernih di kepalamu.
***
Tiga tahun lalu, kau menyapaku dengan salam penuh
makna, dengan teori yang tidak rasional dan sebab yang tak pernah ku pahami
ketika kulit pipiku mengembang perlahan menatapmu. Membentuk sabit yang tak
serupa bulan, dan lesung yang sering kau puja. Kau sering mengalunkan puisi yang
penuh makna kepadaku, karena itulah keahlianmu. Kau pandai berbicara dan
membentuk kalimat retorika, kau dengan mudahnya menusukkan ratusan ideologi
kepada setiap orang yang keteguhannya mirip denganmu, termasuk kau pandai
memikat hati. Memikat hatiku. Semuanya itu kau lakukan hanya dengan sebilah
alat. Alat yang kusebut Kata-kata.
Aku mengenal sosokmu lewat ruang yang tak romantis
dan nada senyap forum kajian mahasiswa. Saat ketika kau hentakkan tanganmu di
atas meja, dan berbicara lantang memecah kesunyian seperti seniman yang sedang
melukis gelora singa. Sehingga yang kau katakan tampak seperti gambaran
kenyataan yang sebenarnya terjadi. Gambaran yang ingin kau hapus dan kau lukis
ulang. Ideologimu yang seperti itu akulah yang paling mengerti.
“Saya ingin
berdiri di masa depan sebagai sosok yang diakui. Saya akan mengubah sistem
buruk di negara ini. Saya Akan Menjadi Presiden!”
Saat itu, aku tersenyum bangga dengan keteguhanmu.
Sosok pemimpin yang pantang menyerah, yang pidatonya tidak komat-kamit. Kalimat
seperti itu sering kau ulang secara tegas di depanku, hampir setiap kita sempat
pulang kuliah bersama. Karena Aku mempercayaimu, dan aku mendukungmu.
Kau dan aku memanglah beda kelas waktu itu, aku
lebih banyak berbahasa hitung-hitungan dan statistika pada kuliahku. Sedang kau
bergelut di bidang pendidikan. Bidang yang menciptakan kemampuanmu bertutur.
Tapi, kita sering bersama hampir setiap saat. Pada sudut ruang yang bahasannya
tentang negara dan rakyat. Kau di podium berpidato sebagai Presiden Mahasiswa, dan aku di kursi audiensi menatapmu kagum.
Banyak yang yakin kalau kau pantas menjadi Presiden Negara nantinya. Bukan cuma
mahasiswa di dalam kampus. Tapi juga di luar kampus. Di setiap organisasi
mahasiswa yang mengenalmu. Bahkan di setiap pedagang kerupuk, pedagang es teler, atau pedagang rokok yang
sempat kau ajak berteori. Bahkan kau sempat di lirik oleh sebuah partai politik
bukan, namun kau tolak mentah-mentah karena yang ku tau kau benci negaramu di
jadikan barang judi oleh partai politik. Melihatmu ada di dunia. Kami seolah
punya gambaran tentang masa depan negeri ini. Kami semua mendukungmu dan aku
tak akan letih mengagumimu.
“Jika di dunia
ini saya terlahir sebagai tanaman, maka saya akan menjadi Kaktus. yang selalu
tegar di hamparan padang pasir yang panas dan luas. Karena apapun bentuk
diriku, aku tidak akan layu jika itu harus melawan ketidak adilan!”
Waktu itu, untuk kesekian kalinya dengan kata-kata
dan kegigihanmu membuatku terkagum. Kalimat itu, adalah kalimat kedua yang
sering kau ucap berulang-ulang di depanku. Di bawah pohon ketapang yang sering
meneduhkan kita sore harinya. Aku menyukai tempat itu, karena setiap usai
kuliah, aku sering melihatmu duduk menungguku di sana. Kursi merah di bawah
pohon ketapang itu adalah benda yang tak akan hilang dari kenanganku. Karena
lewat kursi itu, aku bisa lebih mengenalmu dan meminum setiap tegukan
pengetahuanmu. Tak sekalipun ku urungkan niatku untuk meng-imamimu.
“Aku akan
bangga jika kekasihku adalah presiden nantinya, Aku akan mendukungmu dengan
sepenuh hatiku” Tuturku sopan kepadanya. Saat itu, Ku ingat tepatnya 30
april tiga tahun silam.
“Saya sangat
serius akan cita-cita itu, karena ada yang salah di negeri ini. Dan ada yang
harus mengubahnya. Kita harus berhenti menunggu, dan berkoar yang tidak jelas!”
Usai percakapan sore, kami melanjutkan petualangan
asmara pada malam bulan baru. Tepat di seberang jalan, di dekat bunga asoka
yang sering kita lewati saat pulang. Ketika itu Kau menyapa seorang anak kecil
yang tengah berjualan keripik pisang.
Sambil kau usap kepalanya dan menyodorkan uang dua ribuan.
“adek tidak
ada PR untuk besok?”
“Tidak bang,
saya sudah tidak sekolah lagi”
“Kenapa begitu?
Bukankah sekolahnya gratis?”
“Memang, tapi
dari pada dipukulin melulu sama guru di kelas. Lebih baik jualan keripik. Dapat
uang pula”
“Pasti adek
nakal?”
“Tidak bang,
saya bahkan sering bertanya tapi keseringan gak ditanggapi. Pas masuk cuma
dikasi tugas dan tugas. Kalau gak tau malah dimarahi. Jadi gak ada keinginan
untuk sekolah lagi. Temanku Anwar juga begitu”
“Oh, begitu….”
“iya bang! Kalau
dari kecil pendidikan tidak benar, maka kedepannya pasti bakalan hancur juga!
Dari pada hancur. Mending berhenti saja. Kata Mak-nya Anwar, Pendidikan yang pertama
kali harus di perbaiki!”
Sambil mengusap lagi kepala anak kecil itu, kau
berdiri dan menyodorkan bungkusan keripik
pisang kepadaku. Untuk pertama kalinya, aku melihatmu tidak banyak bicara
saat keadaannya seperti itu. Kau menyeret tanganku untuk pulang. Di tengah
perjalanan, kau terus menanyakan solusi dari perkataan anak tadi. Aku diam
sebab kau bersikap tidak seperti biasanya. Jam tanganmu saat itu menunjukkan
setengah delapan malam. Kita berpisah lewat jalan setapak. Sambil ku ingat
wajahmu yang sejak tadi tampak murung.
Sistem pemerintahan pada masa itu sangat buruk,
sekolah memang tidak berfungsi sebagaimana sekolah pada umumnya, Orang tua dan
anak-anak mulai menjalar memasang pakaian kumuh dan wajah iba pada setiap jas
yang dan sepatu kulit yang berjalan. Negara banyak ditumbuhi menara-menara
tinggi, dan benihnya bukan dari anak bangsa. Buahnya pun semuanya dibawa ke
Negara lain dan tidak dimakan sendiri. Perusahaan asing adalah pemegang kendali
Negara saat itu, hampir setiap harinya terjadi bentrok, demonstrasi, dan
sebagainya. Hanya di tempat kecil seperti ini kau bertahan. Menyusun rencana
untuk mengubah sistem.
Semenjak mengenalmu, aku seperti terlahir sebagai
sosok baru. Darimu, aku banyak belajar hal baru. Kau banyak menginspirasiku
dari segala sudut teori kehidupan. Sore itu, usai seminar pendidikan yang
diusung beberapa mahasiswa. Ku lihat kau dengan gaya sederhanamu duduk di
bangku merah, di bawah pohon ketapang itu kau tampak mengesankan. Wajahmu dari
lima belas meter tempatku berdiri, tampak seperti wajah orang yang sangat ingin
mengatakan sesuatu padaku. Wajah itu mengingatkanku saat kau mengutarakan semua
isi hatimu padaku dulu. Entah mengapa raut yang seperti itu muncul lagi.
“Saya akan jadi
guru”
“Lho, kok Bapak
Presiden bicaranya begitu?”
“Iya, saya
serius ingin menjadi guru”
“Bukannya
Presiden! Tapi, kenapa guru! Menteri pendidikan atau apa ke’!
“Tidak, Saya
akan menjadi guru!”
Sambil ku pukul kepalanya dengan buku, aku berdiri.
Meletakkan tanganku di kedua sisi pinggangku.
“Aku dan
semuanya menaruh banyak harapan padamu! Kau itu sosok perubahan! Kau harus yang
memimpin kami! Apa semangatmu layu begitu saja! Karena ocehan anak kecil
semalam kah?!
“Gak usah garang
gitu. Cantiknya ilang loh. Untuk terakhir kalinya, saya tetapkan langkahku
untuk masa depan yang lebih baik. Saya akan menjadi guru, mendirikan banyak
sekolah dan mengabdikan diri secara tulus”
Keputusanmu sore itu, adalah keputusan tiba-tiba. Sempat aku
mempertanyakan, kemana perginya logikamu. Saat itu, semua yang tau perubahan
sikapmu, terus menanyaiku. Mereka merasa usaha yang selama ini mereka lakukan
denganmu sia-sia. Kau seolah ingin membangun ulang konsep dan teori yang ada di
kepala mereka. Tapi itu tidaklah mudah. Perlahan mereka akan mempertanyakan
prinsipmu. Lalu lambat laun tidak mempercayaimu. Kau seperti berubah menjad
sosok lain,
Esok harinya ku tanyakan lagi sikapmu. Tapi kau
tetap mengatakan hal yang sama dan itu adalah kalimat ketiga yang sering kau ulang-ulang
kepadaku.
“Aku akan
menjadi guru!”
Kesekian kalinya, kau dengan wajah tak berdosa
mengatakan hal itu. Setiap teman yang kau jumpai mulai meledekmu dengan sebutan
“bapak guru” dan kau seolah
menganggap itu pujian, atau kau memang merasa senang dipanggil begitu. Hampir
setiap saat ku tanyakan terus cita-citamu. Berharap kau hanya sedang bercanda
dan akan tetap pada prinsip awalmu. Tapi ternyata kau memang serius.
“Aku akan
menjadi guru”
Akhirnya pada sebuah forum diskusi. Kau bahasakan
pendapatmu tentang pendidikan di Negara kita, dan kau proklamirkan dengan
bangga cita-citamu di depan ratusan mahasiswa dan beberapa petinggi mahasiswa.
Saat itu, aku belum mendapatkan jawaban yang tapat tentang alasanmu. Aku hanya
sangat mengagumimu, sehingga tak ada alasan mengubah haluan hatiku kepadamu.
***
Tiga tahun lalu, kau berdiri sebagai kaktus tegar
yang pernah kau ceritakan padaku. Di bawah terik matahari yang seakan menjilat
ubun-ubunmu. Sehingga wajahmu penuh dengan air kerja kerasmu saat itu. Dengan
alasan dan tujuan yang sama, kau dan aku berdiri di hadapan coretan kotor kehidupan.
Sebilah mikrofon di tanganmu mampu mmbuat kau, aku dan pejuang-pejuang yang
lain menyongsong tameng-tameng polisi. Bergerak menuju ideologi yang selama ini
kau, aku dan pejuang lain impikan.
Beberapa daerah di Negara ini bergerak dalam satuan langkah. Hari itu tepatnya
02 mei pada tahun yang penuh kekeruhan. Gerakan besar kita lakukan secara
serempak.
Di tengah kerumunan banyak orang, aku terus
menggenggam pinggang bajumu. Perasaanku saat itu entah mengapa merasa aneh dan
takut. Tapi melihat ketegaranmu, membuatku dan ribuan orang yang ada ditempat
itu terbakar semangatnya. Kita telah memukul mundur polisi saat itu. Sesekali
ku sodorkan minuman padamu yang tampak kehausan. Namun kau enggan untuk meneguk
air saat itu. Kau hanya berniat untuk mengeluarkan segala peluh di tubuhmu.
Sebagai bentuk pengganti perjuangan orang-orang yang telah gugur memperjuangkan
Negara ini. Hanya dengan kekuatan seperti itu, kau dengan keberanian yang tak
terbatas berdiri di antara barisan pejuang dan polisi. Ketika itu dengan
terpaksa ku lepaskan genggamanku di bajumu. Kau mengangkat mikrofonmu dan
mengalunkan kata-kata yang nyata dan penuh kemurkaan. Kata-kata kemurkaan yang
berasal darimu, dariku, dari pejuang yang lain, dari tangis rakyat yang
tersisih oleh kehidupan.
Berdasar atas cita-citamu, kau menyuarakan bentuk
pendidikan yang seharusnya menjadi pondasi Negara untuk membangun karya dan
perubahan. Kami yang mengikutimu mengepal tangan dan mengangkat
setinggi-tingginya. Aku melihatmua dengan ketegaran yang persis seperti kaktus
kekar di tengah panasnya padang pasir. Aku akan mengikutimu apapun yang kau
impikan.
“Jika Negara
yang seharusnya sudah bisa terwujudkan. Aku akan menjadi guru pertama yang
memulai perubahan! Kami akan memulai mengangkat batu-batu yang mereka bebankan
pada punggung kami. Negara kita seharusnya, tumbuh dengan wajar. Pendidikan,
ekonomi, pemerintahan! Kita akan……..”
Saat itu tiba-tiba mikrofon yang tadi kau genggam
berdengung keras. Kata-katamu berhenti secara mendadak. Tak terdengar suara
tegarmu yang sejak dulu menguatkanku. “Plak!”
Terdengar suara mikrofon jatuh di tengah aspal panas. Jalanan dengan kerumunan orang tampak sunyi
sesaat. Lalu kerumunan pejuang berteriak dan berlari menyerang polisi. Air
mataku mengalir dengan derasnya menyaksikanmu. Menyaksikanmu tertembak oleh
polisi yang tak tau siapa. Jasadmu secara tiba-tiba tak bergerak, tak bersuara,
tak bernafas. Aku memelukmu di tengah teori kehidupan yang sering kau ajarkan
padaku. Dengan tangis yang sama, pejuang lainnya bergerak dengan murka. Tahun
itu adalah tahun kehancuranku.
***
Di depan pohon ketapang ini aku mengenang jasamu.
Seandainya kau masih hidup, ingin ku gandeng tanganmu berjalan menyusuri tawa
anak-anak yang sekarang tengah bahagia menikmati kerja keras kita. Membangun
perubahan tidaklah mudah, tapi aku dengan semua yang telah kau ajarkan bergerak
secara teratur membentuk kehidupan.
“Kaktus suatu
saat akan layu, tapi sebelum itu terjadi, akan tumbuh kaktus baru yang lain.
Kaktus baru yang akan melanjutkan perjuangan kaktus yang telah layu.
Seandainya kau masih hidup, ingin ku katakan, kalau
aku sekarang adalah seorang Guru. Aku adalah perempuan yang akan setia
melanjutkan perjuanganmu. Terima Kasih, sahabat hatiku….
*** (END)***
(Inspirasi ini lahir dari keteguhan seorang
perempuan yang ku panggil Hasmirawati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar