Kamis, 21 November 2013

KAKTUS PUN LAYU



KAKTUS PUN LAYU
Cerpen karya Alim Al Ayubi sebagai Juara 1 Lomba Cerpen Excellent HMK UNM 2013 bertema "Mahasiswa Inspiratif"


 google pict.
Usai gerimis tadi pagi, ku dapati langkahku terseok menelusuri rangkaian jalan-jalan setapak. Menyapa langit yang dari jauh tampak berwarna biru keunguan. Kepada violet di angkasa lepas, rebahkanlah karuniamu untuk usahaku, juga untuk pohon ketapang pagi yang menyimpan banyak kenangan masa laluku. Bernostalgia dan bercengkrama lagi dengan akar dan tangkainya adalah alasan langkahku tergerak dan terhenti di sini. Di sela suara asmara udara pagi, aku kembali mengingatmu.
Sekarang daun ketapang telah memerah, aku menatapnya sejak tadi di balik gorden-gorden angin yang secara sepoi membelaiku. Membuktikan sejak tiga tahun lalu aku tak pernah lagi lari dari kerasnya hidup. Warna merah yang tersaji di hadapanku, mengingatkanku tentang caramu berjuang, caramu bernafas, caramu menatap tajam, caramu mengasah ratusan kepala di depan gedung rektorat yang dindingnya sekarang tampak ditumbuhi lumut. Akulah satu yang paling mengerti bagaimana konsep mengalir jernih di kepalamu.
***
Tiga tahun lalu, kau menyapaku dengan salam penuh makna, dengan teori yang tidak rasional dan sebab yang tak pernah ku pahami ketika kulit pipiku mengembang perlahan menatapmu. Membentuk sabit yang tak serupa bulan, dan lesung yang sering kau puja. Kau sering mengalunkan puisi yang penuh makna kepadaku, karena itulah keahlianmu. Kau pandai berbicara dan membentuk kalimat retorika, kau dengan mudahnya menusukkan ratusan ideologi kepada setiap orang yang keteguhannya mirip denganmu, termasuk kau pandai memikat hati. Memikat hatiku. Semuanya itu kau lakukan hanya dengan sebilah alat. Alat yang kusebut Kata-kata.
Aku mengenal sosokmu lewat ruang yang tak romantis dan nada senyap forum kajian mahasiswa. Saat ketika kau hentakkan tanganmu di atas meja, dan berbicara lantang memecah kesunyian seperti seniman yang sedang melukis gelora singa. Sehingga yang kau katakan tampak seperti gambaran kenyataan yang sebenarnya terjadi. Gambaran yang ingin kau hapus dan kau lukis ulang. Ideologimu yang seperti itu akulah yang paling mengerti.

Saya ingin berdiri di masa depan sebagai sosok yang diakui. Saya akan mengubah sistem buruk di negara ini. Saya Akan Menjadi Presiden!”

Saat itu, aku tersenyum bangga dengan keteguhanmu. Sosok pemimpin yang pantang menyerah, yang pidatonya tidak komat-kamit. Kalimat seperti itu sering kau ulang secara tegas di depanku, hampir setiap kita sempat pulang kuliah bersama. Karena Aku mempercayaimu, dan aku mendukungmu.
Kau dan aku memanglah beda kelas waktu itu, aku lebih banyak berbahasa hitung-hitungan dan statistika pada kuliahku. Sedang kau bergelut di bidang pendidikan. Bidang yang menciptakan kemampuanmu bertutur. Tapi, kita sering bersama hampir setiap saat. Pada sudut ruang yang bahasannya tentang negara dan rakyat. Kau di podium berpidato sebagai Presiden Mahasiswa, dan aku di kursi audiensi menatapmu kagum. Banyak yang yakin kalau kau pantas menjadi Presiden Negara nantinya. Bukan cuma mahasiswa di dalam kampus. Tapi juga di luar kampus. Di setiap organisasi mahasiswa yang mengenalmu. Bahkan di setiap pedagang kerupuk, pedagang es teler, atau pedagang rokok yang sempat kau ajak berteori. Bahkan kau sempat di lirik oleh sebuah partai politik bukan, namun kau tolak mentah-mentah karena yang ku tau kau benci negaramu di jadikan barang judi oleh partai politik. Melihatmu ada di dunia. Kami seolah punya gambaran tentang masa depan negeri ini. Kami semua mendukungmu dan aku tak akan letih mengagumimu.

Jika di dunia ini saya terlahir sebagai tanaman, maka saya akan menjadi Kaktus. yang selalu tegar di hamparan padang pasir yang panas dan luas. Karena apapun bentuk diriku, aku tidak akan layu jika itu harus melawan ketidak adilan!”

Waktu itu, untuk kesekian kalinya dengan kata-kata dan kegigihanmu membuatku terkagum. Kalimat itu, adalah kalimat kedua yang sering kau ucap berulang-ulang di depanku. Di bawah pohon ketapang yang sering meneduhkan kita sore harinya. Aku menyukai tempat itu, karena setiap usai kuliah, aku sering melihatmu duduk menungguku di sana. Kursi merah di bawah pohon ketapang itu adalah benda yang tak akan hilang dari kenanganku. Karena lewat kursi itu, aku bisa lebih mengenalmu dan meminum setiap tegukan pengetahuanmu. Tak sekalipun ku urungkan niatku untuk meng-imamimu.

Aku akan bangga jika kekasihku adalah presiden nantinya, Aku akan mendukungmu dengan sepenuh hatiku” Tuturku sopan kepadanya. Saat itu, Ku ingat tepatnya 30 april tiga tahun silam.
Saya sangat serius akan cita-cita itu, karena ada yang salah di negeri ini. Dan ada yang harus mengubahnya. Kita harus berhenti menunggu, dan berkoar yang tidak jelas!

Usai percakapan sore, kami melanjutkan petualangan asmara pada malam bulan baru. Tepat di seberang jalan, di dekat bunga asoka yang sering kita lewati saat pulang. Ketika itu Kau menyapa seorang anak kecil yang tengah berjualan keripik pisang. Sambil kau usap kepalanya dan menyodorkan uang dua ribuan.
adek tidak ada PR untuk besok?”

“Tidak bang, saya sudah tidak sekolah lagi”

“Kenapa begitu? Bukankah sekolahnya gratis?”

“Memang, tapi dari pada dipukulin melulu sama guru di kelas. Lebih baik jualan keripik. Dapat uang pula”

“Pasti adek nakal?”

“Tidak bang, saya bahkan sering bertanya tapi keseringan gak ditanggapi. Pas masuk cuma dikasi tugas dan tugas. Kalau gak tau malah dimarahi. Jadi gak ada keinginan untuk sekolah lagi. Temanku Anwar juga begitu”

“Oh, begitu….”

“iya bang! Kalau dari kecil pendidikan tidak benar, maka kedepannya pasti bakalan hancur juga! Dari pada hancur. Mending berhenti saja. Kata Mak-nya Anwar, Pendidikan yang pertama kali harus di perbaiki!”

Sambil mengusap lagi kepala anak kecil itu, kau berdiri dan menyodorkan bungkusan keripik pisang kepadaku. Untuk pertama kalinya, aku melihatmu tidak banyak bicara saat keadaannya seperti itu. Kau menyeret tanganku untuk pulang. Di tengah perjalanan, kau terus menanyakan solusi dari perkataan anak tadi. Aku diam sebab kau bersikap tidak seperti biasanya. Jam tanganmu saat itu menunjukkan setengah delapan malam. Kita berpisah lewat jalan setapak. Sambil ku ingat wajahmu yang sejak tadi tampak murung.
Sistem pemerintahan pada masa itu sangat buruk, sekolah memang tidak berfungsi sebagaimana sekolah pada umumnya, Orang tua dan anak-anak mulai menjalar memasang pakaian kumuh dan wajah iba pada setiap jas yang dan sepatu kulit yang berjalan. Negara banyak ditumbuhi menara-menara tinggi, dan benihnya bukan dari anak bangsa. Buahnya pun semuanya dibawa ke Negara lain dan tidak dimakan sendiri. Perusahaan asing adalah pemegang kendali Negara saat itu, hampir setiap harinya terjadi bentrok, demonstrasi, dan sebagainya. Hanya di tempat kecil seperti ini kau bertahan. Menyusun rencana untuk mengubah sistem.   
Semenjak mengenalmu, aku seperti terlahir sebagai sosok baru. Darimu, aku banyak belajar hal baru. Kau banyak menginspirasiku dari segala sudut teori kehidupan. Sore itu, usai seminar pendidikan yang diusung beberapa mahasiswa. Ku lihat kau dengan gaya sederhanamu duduk di bangku merah, di bawah pohon ketapang itu kau tampak mengesankan. Wajahmu dari lima belas meter tempatku berdiri, tampak seperti wajah orang yang sangat ingin mengatakan sesuatu padaku. Wajah itu mengingatkanku saat kau mengutarakan semua isi hatimu padaku dulu. Entah mengapa raut yang seperti itu muncul lagi.
“Saya akan jadi guru”

“Lho, kok Bapak Presiden bicaranya begitu?”

“Iya, saya serius ingin menjadi guru”

“Bukannya Presiden! Tapi, kenapa guru! Menteri pendidikan atau apa ke’!

“Tidak, Saya akan menjadi guru!”

Sambil ku pukul kepalanya dengan buku, aku berdiri. Meletakkan tanganku di kedua sisi pinggangku.

“Aku dan semuanya menaruh banyak harapan padamu! Kau itu sosok perubahan! Kau harus yang memimpin kami! Apa semangatmu layu begitu saja! Karena ocehan anak kecil semalam kah?!

“Gak usah garang gitu. Cantiknya ilang loh. Untuk terakhir kalinya, saya tetapkan langkahku untuk masa depan yang lebih baik. Saya akan menjadi guru, mendirikan banyak sekolah dan mengabdikan diri secara tulus”

Keputusanmu sore itu,  adalah keputusan tiba-tiba. Sempat aku mempertanyakan, kemana perginya logikamu. Saat itu, semua yang tau perubahan sikapmu, terus menanyaiku. Mereka merasa usaha yang selama ini mereka lakukan denganmu sia-sia. Kau seolah ingin membangun ulang konsep dan teori yang ada di kepala mereka. Tapi itu tidaklah mudah. Perlahan mereka akan mempertanyakan prinsipmu. Lalu lambat laun tidak mempercayaimu. Kau seperti berubah menjad sosok lain,
Esok harinya ku tanyakan lagi sikapmu. Tapi kau tetap mengatakan hal yang sama dan itu adalah kalimat ketiga yang sering kau ulang-ulang kepadaku.

Aku akan menjadi guru!”
Kesekian kalinya, kau dengan wajah tak berdosa mengatakan hal itu. Setiap teman yang kau jumpai mulai meledekmu dengan sebutan “bapak guru” dan kau seolah menganggap itu pujian, atau kau memang merasa senang dipanggil begitu. Hampir setiap saat ku tanyakan terus cita-citamu. Berharap kau hanya sedang bercanda dan akan tetap pada prinsip awalmu. Tapi ternyata kau memang serius.

“Aku akan menjadi guru”
Akhirnya pada sebuah forum diskusi. Kau bahasakan pendapatmu tentang pendidikan di Negara kita, dan kau proklamirkan dengan bangga cita-citamu di depan ratusan mahasiswa dan beberapa petinggi mahasiswa. Saat itu, aku belum mendapatkan jawaban yang tapat tentang alasanmu. Aku hanya sangat mengagumimu, sehingga tak ada alasan mengubah haluan hatiku kepadamu.
***
Tiga tahun lalu, kau berdiri sebagai kaktus tegar yang pernah kau ceritakan padaku. Di bawah terik matahari yang seakan menjilat ubun-ubunmu. Sehingga wajahmu penuh dengan air kerja kerasmu saat itu. Dengan alasan dan tujuan yang sama, kau dan aku berdiri di hadapan coretan kotor kehidupan. Sebilah mikrofon di tanganmu mampu mmbuat kau, aku dan pejuang-pejuang yang lain menyongsong tameng-tameng polisi. Bergerak menuju ideologi yang selama ini kau, aku dan  pejuang lain impikan. Beberapa daerah di Negara ini bergerak dalam satuan langkah. Hari itu tepatnya 02 mei pada tahun yang penuh kekeruhan. Gerakan besar kita lakukan secara serempak.
Di tengah kerumunan banyak orang, aku terus menggenggam pinggang bajumu. Perasaanku saat itu entah mengapa merasa aneh dan takut. Tapi melihat ketegaranmu, membuatku dan ribuan orang yang ada ditempat itu terbakar semangatnya. Kita telah memukul mundur polisi saat itu. Sesekali ku sodorkan minuman padamu yang tampak kehausan. Namun kau enggan untuk meneguk air saat itu. Kau hanya berniat untuk mengeluarkan segala peluh di tubuhmu. Sebagai bentuk pengganti perjuangan orang-orang yang telah gugur memperjuangkan Negara ini. Hanya dengan kekuatan seperti itu, kau dengan keberanian yang tak terbatas berdiri di antara barisan pejuang dan polisi. Ketika itu dengan terpaksa ku lepaskan genggamanku di bajumu. Kau mengangkat mikrofonmu dan mengalunkan kata-kata yang nyata dan penuh kemurkaan. Kata-kata kemurkaan yang berasal darimu, dariku, dari pejuang yang lain, dari tangis rakyat yang tersisih oleh kehidupan.
Berdasar atas cita-citamu, kau menyuarakan bentuk pendidikan yang seharusnya menjadi pondasi Negara untuk membangun karya dan perubahan. Kami yang mengikutimu mengepal tangan dan mengangkat setinggi-tingginya. Aku melihatmua dengan ketegaran yang persis seperti kaktus kekar di tengah panasnya padang pasir. Aku akan mengikutimu apapun yang kau impikan.

“Jika Negara yang seharusnya sudah bisa terwujudkan. Aku akan menjadi guru pertama yang memulai perubahan! Kami akan memulai mengangkat batu-batu yang mereka bebankan pada punggung kami. Negara kita seharusnya, tumbuh dengan wajar. Pendidikan, ekonomi, pemerintahan! Kita akan……..”

Saat itu tiba-tiba mikrofon yang tadi kau genggam berdengung keras. Kata-katamu berhenti secara mendadak. Tak terdengar suara tegarmu yang sejak dulu menguatkanku. “Plak!” Terdengar suara mikrofon jatuh di tengah aspal panas.  Jalanan dengan kerumunan orang tampak sunyi sesaat. Lalu kerumunan pejuang berteriak dan berlari menyerang polisi. Air mataku mengalir dengan derasnya menyaksikanmu. Menyaksikanmu tertembak oleh polisi yang tak tau siapa. Jasadmu secara tiba-tiba tak bergerak, tak bersuara, tak bernafas. Aku memelukmu di tengah teori kehidupan yang sering kau ajarkan padaku. Dengan tangis yang sama, pejuang lainnya bergerak dengan murka. Tahun itu adalah tahun kehancuranku.
***
Di depan pohon ketapang ini aku mengenang jasamu. Seandainya kau masih hidup, ingin ku gandeng tanganmu berjalan menyusuri tawa anak-anak yang sekarang tengah bahagia menikmati kerja keras kita. Membangun perubahan tidaklah mudah, tapi aku dengan semua yang telah kau ajarkan bergerak secara teratur membentuk kehidupan.

Kaktus suatu saat akan layu, tapi sebelum itu terjadi, akan tumbuh kaktus baru yang lain. Kaktus baru yang akan melanjutkan perjuangan kaktus yang telah layu.

Seandainya kau masih hidup, ingin ku katakan, kalau aku sekarang adalah seorang Guru. Aku adalah perempuan yang akan setia melanjutkan perjuanganmu. Terima Kasih, sahabat hatiku….
*** (END)***

(Inspirasi ini lahir dari keteguhan seorang perempuan yang ku panggil Hasmirawati)

SEKADAR SAMPUL



SEKADAR SAMPUL
Sebuah cerpen oleh Amaliah Zj yang keluar sebagai juara 2 dalam lomba cerpen Excellent HMK UNM 2013 bertema "Mahasiswa Inspiratif"
       google pict.

 Apabila kau telah beranjak kuliah, maka pikiranmu tak akan selalu dipenuhi keterkekangan. Kecuali kalau kau itu orang yang alot dalam menanggapi hidup. Hanya dipenuhi dengan perintah dosen yang bersangkutan. Datang dan pergi ke kampus disaat adanya jadwal kuliah. Namun, disini aku berada. Berdiri diantara cahaya yang mengajakku berjalan menuju masa depan yang kuinginkan. Berpikir untuk terus maju, berpikir kedepan, berpikir bagaimana cara berpenghasilan dengan cepat tanpa memberatkan orang tua. Bagiku, waktu adalah obat. Meskipun sering tertipu oleh waktu, tapi aku tidak membencinya karena waktu akan mengajakku berjalan-jalan menemui banyak karakter. Diantara karakter itu, semuanya gugur satu persatu tapi ada pula yang tetap bertahan. Mereka datang dengan senyuman penuh wibawah, dan pergi dengan kenangan yang tidak begitu berarti.
Pikiranku dibunyarkan oleh seseorang yang melintang dihadapanku. Suaranya telah kudengar sepanjang pagi ini. Sangat berisik. Aku bosan dipanggil dengan cara seperti ini. Dia semakin mendekat. Wajahnya memelas. Belum selesai dengan tugas kuliahnya sepertinya. Seperti biasa, aku yang akan menjadi penopangnya. Sebenarnya ini bukanlah masalah yang besar kalau saja dia tidak terus-terusan memanggil namaku.
            “Rekha, gimana nih dengan nasib aku ini?” katanya memasang wajah memelas sambil menunjukkan giginya yang putih.
            “Wah, gimana lagi.. Datanya nggak bisa terkirim. Cari data manual saja” Jawabku dengan cuek. Ini yag kesekian kalinya dia berkata seperti itu. “Minta tolong ke teman yang lain kayaknya nggak begitu memberatkan deh”, batinku.
            Kalau saja proposal yang kuajuakan ke ketua jurusan tidak berkali-kali ditolak, pasti sikapku tidak akan sejutek ini. Proposal ini telah aku susun berminggu-minggu dan ditolak begitu saja tanpa membacanya secara secara memyeluruh. Apakah ini karena kurang mahirnya teknik melobi yang kumiliki? Boro-borobo melobi, dibiarkan menjelaskan saja tidak diizinkan. Kesalahan ditolaknya proposalku ini karena sampul halaman yang “katanya” tidak singkron. Wajar enggak?. Ditambah lagi beberapa hari ini para dosen memajukan seluruh final meraka. Tugas bertumpuk.
            Kembali lagi ke temanku yang satu ini. Sebut saja Via. Orangnya cuek, tapi pintar. Agak ke laki-lakian tapi sangat suka dengan warna pink. Untuk kesan pertama dengannya, menurutku dia orang yang asyik namun tidak mudah akrab dengan teman lain. mungkin aku termasuk orang yang beruntung dapat kenal baik dengannya. Kenal baik yang bahkan hal besar terkait keluarganya pun tidak kuketahui. Mungkin aku sedikit tidak ingin tahu tentang hal ini. Via, salah satu karakter yang lumayan mengubah pandanganku selama ini walaupun hanya sedikit. Nikmati hidup dan jangan terlalu memusingkan hal kecil. Mungkin dari sinilah sikap cuekku terhadap sesuatu makin menjadi-jadi. Pada awalnya, slogan itu asyik diikuti namun dapat membuat munculnya penyakit fatal berupa kemalasan yang berlebihan. Untung saja, aku tidak begitu menganut faham ini.
            Kutinggalkan Via dengan memberikan solusi membuat data sendiri terkait tugasnya. Kucari tempat yang kosong tanpa orang-orang. Ingin menenangkan diri. Dari kejauhan, kulihan seorang senior yang mendekati temanku. Kurasakan diriku nyengir dengan sendirinya. Senior itu, sebut saja kak Deqi. Seorang yang aktif dalam organisasi. Sangat aktif dan memiliki sejuta kepercayaan dalam berbicara. Tanpa keraguan dan cuek. Entah kenapa, aku sangat tertarik dengan orang yang cuek tapi berjiwa kuat. Itulah dia. Diawal masuk kuliah, aku dan juga beberapa temanku sempat terpengaruh dengan kata-katanya. Bahkan menjadikannya sebagai objek dalam tugas kuliahku mengenai “pendapatmu tentang mahasiswa”. Seorang yang dikatakan mahasiswa sejati apabila ia mampu menyumbangkan keahliannya ke orang banyak dan menyalurkan imspirasinya ke khalayak. Penyampaiannya yang begitu berwibawa membuat banyak orang tertarik bagaikan kau akan ngefollow orang itu berkali-kali, bahkan ribuan kali kalau seandanya bisa. Pesan itu sangatlah berarti, sehingga kita para mahasiswa tidak hanya bisa berpikir untuk cepat menyelesaikkan kuliah, kerja dan nikah. Melainka kuliah dan berkarya tanpa batas. Apa gunanya kuliah tanpa itu?
            Namun, kewibawaanya tiba-tiba mulai memudar seiring berjalanya waktu. Keadaanya makin berantakan dan tersebar gossip yang tidak jelas tentangnya. Aku bukanya orang yang segampang itu mempercayai berita tidak jelas seperti itu. Tapi didukung dengan tampangnya yang sekarang, bisa saja seperti dugaan yang lainya. Beberapa hari yang lalu aku memdengar kalau Kak Deqi membuka sebuah pusat grosir. Ternyata dia begitu sibuk dengan usaha barunya sehingga sering muncul gosip aneh tentang Kak Deqi. “Seorang yang dikatakan mahasiswa sejati apabila ia mampu menyumbangkan keahliannya ke orang banyak dan menyalurkan imspirasinya ke khalayak” kataku sambil tersenyum. Itu benar.
            Kukeluarkan kembali proposal dari tas batikku. Kuperhatikan halaman awalnya. Bagus. Sangat bagus. Namun apabila dicercah dengan seksama, memang betul kata Beliau. Tapi bukankah pada umumnya ketertarikan seseorang dimulai pada sampul depannya?. Diawal akan ada rasa kesenangan dengan buku yang engkau beli namun setelah membacanya, ketertarikan itu makin berkurang. Semakin mengetahuinya, semakin tak tertarik. Pada umumnya buku yang kutemui seperti itu, tapi ini tidak berlaku dengan beberapa buku karya orang-orang bermutu. Memiliki magic saat membacanya.
            Aku mulai bangkit. Bersenandung menghibur diri sendiri menuju Himpunan. Setidaknya disana akan ada yang memberikan masukan yang baik tentang proposalku ini. Dari kejauhan kulihat Kak Sekra sedang bercanda dengan beberapa senior lain. Aku makin terhibur. Entah kenapa. Dari sini aku akan menjelaskan beberapa sampul-sampul yang kutemui.
Inilah yang tadi kukatakan, membeli buku dari sampulnya. Wajahnya selalu senang bagaimana pun keadaanya. Bahkan aku sempat bepikir kalau Kak Sekra ini tidak memiliki masalah hidup sedikit pun. Keculi saat ia memasang wajah kantuknya. Wah, bakal jelek banget. Untuk senior yang satu ini, bisa dikata sampul dan isi bacaanya sangat singkron.
            “Aduh!” kataku sambil memegang lenganku yang tersambar oleh seseorang yang berlari dari belakang.
            “Maaf. Nggak ngapa-ngapa kan?” katanya sambil menoleh sebentar dan kembali  berlari menuju arah tujuannya.
            “Sungguh tak beruntungnya aku” ujarku saat ia berlalu.
            Mungkin dia tidak mengenalku. Tapi aku mengenalnya. Sampul kedua. Seseorang yang sering memakai warna baju yang sama selama 3 hari berturut-turut. Ini bukan karena keterbatasan koleksi baju tapi sepertinya memang dia suka dengan hal itu. Aku sendiri sering bertanya apakah itu untuk menarik perhatian seseorang? Apabila tadi aku mengatakan kalau Kak Sekra adalah seseorang yang antara sampul dan isinya sangat singkron. Maka, orang yang tadi menyenggolku beda. Ini sama persis dengan sampul proposalku ini. Tidak usah dijelaskan. Aku tidak akan menghabiskan waktuku dengan hal seperti ini.
            Kulanjutkan langkahku yang terhenti sesaat hingga sampai di pintu Himpunan. Seseorang keluar dengan tersenyum. Senyum yang sepertinya berkata “Sabar, masih ada kesempatan. Dibuat lagi yang lebih baik”. Sepertinya dia tahu kalau proposalku ditolak lagi. Ini adalah sampul ketiga, kak Fahmi. Diawal pertemuan, kuanggapnya biasa saja seperti orang usil pada umumnya. Perkenalan saat ditugaskan untuk mewawancarai seorang senior untuk berita bulletin minggu itu.
            “Menurut aku, pers mahasiswa saat ini tidak begitu dikenal dan diketahui khalayak banyak. Masalahnya mungkin terkendala dikegiatanya. Contohnya saja madingnya sendiri tidak rutin terbit bahkan buletinya tidak pernah aku dapatkan”, ucapnya sambil sedikit bercanda.
            “Iya, makasih kak…” kataku tertegun. Geram rasanya. Namun kukuasai diriku segera. Kuingat apa tugasku selanjutnya “bisa minta take gambarnya satu kali?”
            “Oo… dikirim saja yah” katanya sambil mengelurkan handphone dari sakunya.
            Miris sekali pendapatnya, memang betul apa adanya. Tapi mau dikata apa? Aku sendiri dari hati yang paling dalam juga berpendapat begitu. Yang harusnya dilakukan adalah terus berjuang dan membangkitkan minat para generasi muda akan perkembangan pers itu sendiri.
            Kebetulan sekali kali ini aku ditugaskan dalam tim yang sama dengan Kak Fahmi. Agak kecewa rasanya. Tapi kekecewaan yang sesungguhnya seharusnya terjadi apabila aku menolak satu tim dengannya. Dibalik sikapnya yang amburadul itu, terdapat jiwa kepemimpinan yang dimilikinya. Berwibawan dan penuh kepedulian.
            “Tenang saja, ntar kalau dah diperbaiki aku temanin biar langsung kelar” katanya menghibur setelah aku memasuki ruang Himpunan dan menghempaskan tas batik yang sedari tadi minta diturunkan.
            Wajahku tersenyum. Sekali lagi aku ragu dengan suatu sampul. Sering menipu. Seandainya kita dapat mengintip beberapa lembaran dalam buku tersebut, maka akan mengurangi dugaan-dugaan yang akan muncul. Seorang teman pernah berkta kepadaku “baca dulu sinopsisnya” ataukah “liat belakangnya”. Sinopsis dalam suatu novel mungkin saja dapat membantu, namu buku pelajaran,buku motivasi, ataupun buku-buku lain pada umumnya hanya menampilkan pendapat para pembaca lainnya, memberikan potongan-potongan yang begitu samar. Bacaan di bagian belakang buku menurutku malah membuat kita makin tertipu. Menyembnyikan cerita yang sebenarnya. Ataukah dari sini dihrapakan pembaca merasa tertarik?
            Kak Ulla. Sebuah sampul motivasi. Diawalnya akan ada ketertarikan untuk membacanya. Penuh dengan ide dan pendapat. Namun menjelang seluruhnya terbaca semua, maka akan ada kebosanan yang terjadi. Tidak begitu lucu dan selalu datar tanpa misteri. Pernah suatu ketika aku berencana bercanda dengannya. Dan hasilnya, gagal total. Mungkin saja bercandaanku kurang menarik tapi tahukah kau, dia, merespon pun tidak.
            Lamunan yang panjang menyadarkanku akan banyaknya waktuku yang terbuang. Telah banyak sampul yang kupikirkan. Semuanya beraneka ragam. Diantara seluruh sampul apakah ada yang sangat menarik untuk dibaca? Apabila telah sampai masa jenuhku akan sesuatu, maka aku tak akan merempet diantaranya. Aku ingin bebas. Melihat seluruh dunia. Entah kenapa, mungkin telah menjadi kebiasaanku, saat telah kenal dengan seseorang maka akan kuperhatikan mereka dan akan kucatat semua prilakunya dalam benakku. Ini bukan aksi spy yang kulakukan mengingat terkadang aku terobsesi ingin menjadi seorang detektif setelah membaca subuah karangan dari seorang Norah McClintock. Bukan karena suatu hal tapi karena telah menjadi kebiasaanku. Saat kau merasa diawasi, maka dirimu telah tercatat menjadi sebuat file dalam kepalaku dan kuberi nama Sampul.
            Kuputuskan untuk beranjak dari tempat dudukku. Bosan. Kulambaikan tangan secukupnya pada senior yang ada disana. “Lebih baik ketempat teman-teman yang lain” batinku dalam hati.
            Depan jurusan. Dibawah pohon yang tidak begitu rindang-rindang banget. Kuambil posisi duduk yang pas. Dari kejauhan, kulihat seorang temanku yang menurut pendapatku dia itu mirip dengan orang India. Sebenarnya, tidak ada miripnya sama sekali. Hanya mungkin ada suatu hal yang tak dapat diungkapkan sehingga pantas diberi gelar Chanchat olehku. Orangnya playboy cap Distro tapi sangat baik. “Tapi dia baik dan murah senyum” tangkis temanku saat kuceritakan sikapnya yang playboy. Mantap sekali. Disampingnya berjalan temannya yang bagaimana mau dikata, sangat menjaga pribadinya. Pernah karena suatu hal yang sangat sepeleh, dia menjadi orang terkenal.
            Teman Chanchat. Kuperiksa filenya dalam kepalaku. File dengan sampul bergambar Sasuke. Aku tidak suka dengan karakter teman Naruto itu. Selalu menganggap remeh orang lain. Tapi mungkin ada beberapa hal yang tidak kuketahui sehingga Sakura tertarik dengannya. Sasuke sama saja. Sasuke tetap saja sasuke. Namun, segera kupahami. Tidak seluruhnya sama dengan cerita. Kau harus membacanya hingga akhir. Ini sampul terakhir yang kutemui. Akan kutambah sampul-sampul yang lain beberapa waktu kedepan. Kupersiapkan memoriku. Kutambah kapasitasnya. Memetik hal yang baik dalam tiap cerita dan menyimpan baik-baik masa yang kelam sebagai bahan pelajaran kedepannya.
            Riset yang terakhir untuk saat ini kulakukn. Sampul terakhir ini sulit sekali kutebak. Entah bagaimana ekspresinya. Bukan seorang autism yang memiliki muka seribu namun sikapnya yang cuek namun ramah sangat menjadi tanda tanya. Apabila aku seorang Phisikolog maka akan kukupas habis kasus ngenyelinik ini. Sering ikut andil dalam suatu kegiatan namun penuh bisu. Ungkap seseorang padaku tanpa ditanya “pendapatnya sangat fantastis”. Aku meng-Oh-kan saja kata-katanya. Munculnya keterkesanan diriku dikarenakan sikapnya yang selalu ingin aktif membantu. Selalu tahu dimana posisinya saat masuk dalam suatu kelompok. Pernahkah kau merasa tidak berguna atau tidak tahu apa yang mesti dilakukan saat semua orang sibuk tanpa memberimu kode agar membantunya? Disinilah dia. Selalu tahu akan keberadaanya.
            Suatu tangan melayang kebelakang pundakku. Silva. Sangat mengagetkan. “Buruan, dosen dah menuju kelas!” katanya nyengir tanpa menghiraukan tampang kagetku. Sepanjang hari hatiku risau karena sebuah proposal dan aku baru saja sadar kalau ada tugas yang diberikan oleh dosenku
“Tugasmu udah selesai?” tanyaku.
“Tentu saja” jawabnya sambil mengeluarkan beberapa lembaran dalam map kotaknya “Banyak sekali, ini pun belum selesai” katanya menggeleng. Makin risau hatiku dibuatnya.
            Mampus saja. Sedikit pun belum ada yang kukerjakan. Menengok soalnya saja tidak. Semalam dengan sistem SKS aku meperbaiki proposalku. Hasilnya tidak dapat dikata. Tidak satu pun yang beres hari ini. Aku hanya tinggal memandangi Silva. Tidak sangka temanku yang jago nonton anime ini menyelesaikan tugasnya. Terpaku. Kubiarkan diriku dalam kekosongan. Seandainya aku ditempah oleh buah mangga dari pohon ini dan membuatku pingsan, itu tak masalah asal bisa keluar dari masalah ini. Aku butuh pengaturan waktu yang baik.
            “Cepat!” bentak Silva sambil menarikku. Kurasa, hal paling tepat menggambarkan diriku adalah hanya bagaikan boneka yang ditarik dengan paksa.

Selasa, 28 Mei 2013

Galang Dana 1

 Para anggota PME yang akan berjualan di Tanjung Bayang

Sabtu (11/5/13) Biro Pers Mahasiswa Elektron mengadakan penggalangan dana untuk kegiatan IHT. penggalangan dana bertempat di dua lokasi, Taman Macan dan Tanjung Bayang. Penggalangan Dana ini dilaksanakan pukul 7.30 sampai 11.30. Para pengurus Biro Pers Mahasiswa Elektron menggalang dana dengan menjual bubur kacang hijau.

Selain Ketua Umum, A. Farihah Manggabarani, penggalangan dana ini juga diikuti oleh Sekertaris Umum Nurlaili Dwi Ulfa, juga ketua Divisi Litbang Santi Hasmarani. Selain itu, Ketua Panitia IHT I Wayan Putra dan Bendahara Panitia IHT Hermin Hardyanti Utami. Selain itu, Arnan Arkhilaus juga sobat Biro Pers Mahasiswa Elektron Tri Ayu Novita.

Panpel IHT sangat mengharapkan kedatangan anggota/pengurus Biro Pers Mahasiswa Elektron yang lainnya untuk kegiatan yang selanjutnya. #Th